Newest Post

// Posted by :Unknown // On :Tuesday, 24 January 2017

Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia sudah bertekad bulat memproklamasikan kemerdekaan meskipun Jepang masih bercokol di bumi Indonesia lengkap dengan persenjataannya. Pemerintah Jepang di Indonesia diperintahkan oleh sekutu agar menjaga ketertiban dan keamanan, dan selanjutnya sesudah sekutu tiba, Indonesia harus diserahkan secara utuh kepada sekutu bukannya kepada Indonesia. Untungnya datangnya pasukan sekutu di Indonesia terlambat. Kedatangan pasukan sekutu (AFNEI) menyebabkan situasi di Indonesia semakin panas, karena NICA ikut membonceng dengan tujuan akan menjajah kembali bangsa Indonesia.
Kita menolak penjajahan itu, sebab penjajahan itu mengakibatkan bangsa Indonesia sengsara,miskin dan bodoh. Datangnya kekuatan-kekuatan asing itu menyebabkan keadaan Negara panas, kita berjuang melawan kekuatan asing yang membuat Negara kacau.

Perjuangan kemerdekaan ditempuh dengan dua cara, yaitu:
  1. Diplomasi dan perundingan
  2. Perang.
Kalau dengan cara diplomasi gagal, biasanya diteruskan dengan perang. Sebagai bangsa yang cinta damai, kita lebih mengutamakan diplomasi. Ini tidak berarti kita takut perang. Ingat, kita dengan senjata yang sederhana (bambu runcing,tombak,pedang dan lain-lain) berani menghadapi musuh yang lebih modern persenjataannya. Kesempatan berunding selalu dipergunakan oleh pihak Belanda untuk memperkuat tentaranya, dan hasil dari perundingan selalu gagal, karena Belanda tidak bersungguh-sungguh mengakui kedaulatan bangsa Indonesia. Belanda tidak senang bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka.

MISI SEKUTU YANG PERTAMA (8 SEPTEMBER 1945)

Tujuh perwira Inggris di bawah pimpinan Mayor A.G. Greenhaigh pada tanggal 8 September 1945 telah diterjunkan dengan payung di lapangan terbang kemayoran, Jakarta.

Mereka adalah anggota misi sekutu (Allied Mission) yang dikirim oleh South East Asia Command (SEAC) dari Singapura, untuk mempelajari dan melaporkan keadaan di Indonesia, menjelang pendaratan rombongan sekutu yang direncakan seminggu kemudian dengan kapal Inggris Cumberland. Para perwira sekutu itu adalah yang pertama yang menginjak daerah Republik Indonesia. Mayor Greenhalgh segera mengadakan hubungan dengan pimpinan tentara Jepang di Jakarta Jenderal Yamaguchi.
Pada tanggal 16 September Laksamana Muda W.R. Patterson, Wakil Panglima SEAC Lord Louis Mountbatten di Singapura, mendarat di Tanjung Priok dengan kapal Cumberland. Dalam rombongan ini turut membonceng C.H.O. Van Der Plas, mewakili Dr. H.J. Van Mook, kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA).
Dr. Van Mook sendiri, yang kemudian diangkat sebagai wakil Gubenur Jenderal Hindia Belanda, datang di Indonesia bulan Oktober 1945.
Pada tanggal 24 Agustus 1945, antara pemerintah kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda tercapai suatu persetujuan yang terkenal dengan nama ”Civil Affairs Agreement”. Dalam persetujuan ini disebutkan bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintahan Belanda. Dalam melaksanakan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan sipil, pelaksanaannya diselennggarakan oleh NICA dibawah tanggung jawab komando Inggris. Kekuasaan itu kemudian akan dikembalikan kepada kerajaan Belanda.
Hubungan antara pimpinan tentara Jepang dan pemerintahan Republik beserta rakyat Indonesia makin tegang. Pertempuran-pertempuran makin menghebat dan meluas antara para pejuang Republik dan pasukan-pasukan Jepang.
Baru setelah melalui pertempuran sengit pada tanggal 2 Oktober, markas besar tentara Jepang di Surabaya menyerah kepada rakyat. Kemudian disusul oleh tentara jepang di Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1945. Hal yang sama terjadi pula di kota-kota lainnya.

PEMERINTAH AKAN DISERAHKAN KEPADA SEKUTU DAN TIDAK KEPADA PIHAK INDONESIA (10 SEPTEMBER 1945)

Sebelum tentara sekutu yang memboncengi NICA untuk pertama kalinya mendarat pada akhir bulan September 1945, yang dihadapi oleh BKR dan badan-badan perjuangan lainnya adalah tentara Jepang.
Dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, bala tentara Jepang di Indonesia kehilangan semangat. Mereka tidak bernafsu untuk merintangi gerakan dan usaha-usaha kemerdekaan Indonesia. Pada umumnya mereka berusaha untuk menyelamatkan diri dari dendam rakyat Indonesia dengan jalan mengkonsinyasi diri dalam asrama masing-masing dan hanya membela diri apabila diserang oleh rakyat Indonesia yang berusaha merampas senjata mereka.
Usaha-usaha yang pada mulanya hanya bersifat perorangan untuk merebut senjata tentara Jepang kemudian meningkat menjadi gerakan massa yang teratur untuk melucuti kesatuan-kesatuan tentara Jepang setempat.
Kemudian gerakan itu lebih meningkat lagi dengan pengambilalih kekusaan sipil dan militer beserta alat-alat perlengkapannya, yang diakui dengan gerakan manaikkan Sang Merah Putih.
Di Banyumas kesatuan-kesatuan Peta di bawah pimpinan Daidanco Soedirman pada bulan September berhasil melucuti seluru tentara Jepang di daerah tersebut tanpa pertempuran. Akan tetapi, di daerah-daerah lain,dengan meningkatnya aksi-aksi melucuti dan merebut persenjataan Jepang, pihak Jepang mulai mengadakan perlawanan. Pihak sekutu memang telah memerintahkan Jepang agar tetap bertanggung jawab atas bekas jajahannya untuk diserahkan secara utuh dan lengkap kepada sekutu.
Pada tanggal 10 September 1945 Panglima bala tentara Jepang di Jawa mengeluarkan pengumuman, yang menyatakan bahwa pemerintahan akan diserahkan kepada sekutu dan tidak kepada Indonesia.

PENDARATAN TENTARA SEKUTU

Kekuatan asing berikutnya yang harus dihadapi oleh Republik Indonesia adalah pasukan-pasukan sekutu, yang ditugaskan untuk menduduki wilayah Indonesia dan melucuti tentara Jepang. Yang melaksanakan tugas ini adalah Komando Asia Tenggara (South East Asia Command) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten. Untuk melaksanakan tugas itu, Mountbatten membentuk suatu komando khusus yang diberi nama Allied Forces Netherlanda East Indies (AFNEI) di bawah Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Tugas AFNEI di Indonesia adalah:
Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang
Membebaskan para tawanan perang dan interniran sekutu
Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan
Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil
Menghimpun keterangan tentang dan menurut penjahat perang
Pasukan-pasukan sekutu dalam AFNEI mulai mendarat di Jakarta dan tanggal 29 September 1945. Kekuatannya terdiri atas tiga divisi, yaitu:
  1. 23rd Indian Division, di bawah pimpinan Mayor Jenderal D.C Hawthorn (untuk daerah Jawa Barat)
  2. 5th Indian Division, di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Mansergh (untuk daerah Jawa Timur)
  3. 26th Indian Division, di bawah pimpinan Mayor Jenderal H.M Chambers (untuk daerah Sumatra)
Pasukan-pasukan yang tergabung dalam AFNEI hanya bertugas di Sumatra dan Jawa, sedangkan pendudukan daerah Indonesia selebihnya diserahkan kepada angkatan perang Australia.
Kedatangan sekutu semula disambut dengan sikap terbuka oleh pihak Indonesia. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa pasukan sekutu datang membawa orang-orang NICA yang hendak menegakkan kembali kekuasaan kolonial Hindia Belanda, sikap Indonesia berubah menjadi curiga dan kemudian bermusuhan situasi dengan  cepat menjadi buruk setelah NICA mempersenjatai kembali bekas KNIL yang baru dilepaskan dari tahanan Jepang. Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Surabaya, dan Bandung mulai memancing kerusuhan dengan cara mengadakan provokasi.
Sementara itu, Christison menyadari bahwa usaha pasukan-pasukan sekutu tidak akan berhasil tanpa bantuan pemerintah Republik Indonesia. Karenanya, Christison bersedia berunding dengan pemerintah Republik Indonesia dan pada tanggal 1 Oktober 1945 mengeluarkan pernyataan yang pada hakikatnya mengakui de fakto Negara Republik Indonesia.
Pernyataan tersebut lengkapnya berbunyi sebagai berikut:

The NRI government will not be expelled and will be expected to continue civil administration in the area outside those accupied by British Forces. We intend to see the leaders of various movements and shall tell them what they are coming for. I inted to bring Dutch representatives and Indonesia leaders together at a roundtable conference which the Dutch have steadfastly refused to do hitherto.

Sejak adanya pengakuan de facto terhadap pemerintah Republik Indonesia dari Panglima AFNEI itu, masuknya pasukan sekutu ke wilayah Republik Indonesia diterima dengan lebih terbuka oleh pejabat-pejabat Republik Indonesia karena menghormati tugas-tugas yang dilaksanakan oleh pasukan-pasukan sekutu. Christison juga menegaskan bahwa ia tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut status kenegaraan Indonesia. Namun, kenyataannya adalah lain: di kota-kota yang didatangi oleh pasukan sekutu sering terjadi insiden, bahkan pertempuran sering terjadi dengan pihak Republik Indonesia kerena pasukan-pasukan sekutu itu tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia.
Seperti yang terjadi di kota Jakarta, pemimpin-pemimpin nasional kita banyak yang diteror, bahkan sampai mengalami percobaan pembunuhan.

PENGANGKUTAN TAWANAN PERANG SEKUTU (APWI) PERTAMA

Pada tanggal 24 April 1946 mulai dilakukan pengangkutan bekas tawanan perang dan interniran sekutu (Allied Prisoners of War and Internees) atau APWI yang pertama, yang ditawan Jepang selama Perang Dunia II dari daerah Republik ke Jakarta. TRI bertugas untuk melakukan pengawalan atas pengangkutan bekas tawanan tersebut.


PENYERAHAN TAWANAN JEPANG KEPADA SEKUTU

Dengan didahului oleh perundingan-perundingan mengenai pelucutan senjata tentara Jepang, Pada tanggal 28 April 1946 lebih kurang 1200 orang tawanan tentara Jepang diangkut dari Malang ke Probolinggo dan Pasuruan untuk selanjutnya diangkut dengan kapal ke pulau Galang guna diserahkan kepada tentara sekutu.





PEMBENTUKAN TENTARA KEAMANAN RAKYAT (TKR)

Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, pemerintah RI belum memiliki tentara resmi. Bersamaan dengan pembentukan Komite Nasional dibentuk pula Badan Keamanan Rakyat. Hal ini dimaksud agar tidak mengundang permusuhan, karena waktu itu di Negara kita hadir kekuatan-kekuatan asing.
Tetapi setelah kekuatan-kekuatan asing tersebut kenyataannya berbuat onar dan menginjak-injak kedaulatan bangsa Indonesia yang sudah merdeka, bentrokan senjatan pun tak dapat dielakan lagi. Bumi Indonesia semakin panas, maka pembentukan Tentara Nasional dirasa sangat perlu.
Dengan sebuah maklumat, pada tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Maklumat yang sangat singkat itu berbunyi sebagai berikut:

Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat.

Jakarta, 5 Oktober 1945
Presiden Republik Indonesia

Soekarno            

Pendaratan tentara sekutu yang disertai NICA, bentrokan-bentrokan senjata antara rakyat dan tentara sekutu dengan NICA, dan usaha-usaha pelucutan senjata tentara Jepang menjadikan keadaan makin genting dan mengantarkan kelahiran TKR ini.
Dengan maklumat berikutnya pada tanggal 6 Oktober 1945, Soepriadi, pahlawan perlawanan PETA di Blitar (Februari 1945) diangkat sebagai Menteri Keamanan Rakyat tetapi karena Soepriadi tidak terdengar kabar berita, maka pada tanggal 20 Oktober 1945, diumumkan kembali pengangkatan pejabat-pejabat pimpinan di lingkungan kementrian Keamanan Rakyat sebagai berikut:

Menteri Keamanan Rakyat ad Interim    : Muhamad Suijoadikusumo
Pimpinan Tertinggi TKR                         : Soepriadi
Kepala Staf Umum TKR                         : Oerip Soemohardjo


Dengan semangat persatuan, dengan tekad yang bulat, TKR kita tidak gentar melawan musuh yang persenjataannya lebih lengkap dan modern. Periksalah gambar dibawah, senjata yang panjang itu hasil rampasan dari Jepang. Orang menyebutnya Karaben Jepang dan senjata yang pendek adalah warisan dari Belanda. Orang menyebutnya Karaben saja.



// Copyright © TURN PENGETAHUAN //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //